Pages

Tuesday, November 18, 2025

Di Antara Sembunyi dan Mencari. Laporan Pandangan Mata dari Pameran Arsip dan Ilustrasi : Petak Umpet Sastra Anak

    Sepuluh, sembilan, delapan, tujuh, enam, lima, empat, tiga, dua, satu. Seperti hitungan mundur di permainan petak umpet yang perlahan namun pasti, pengunjung juga kurator bermain dan menemukan apa-apa yang tersembunyi dari lanskap sastra anak melalui pameran Petak Umpet Sastra Anak yang diselenggarakan tanggal 7 hingga 16 November 2025 di Bentara Budaya Jogjakarta.


Sepuluh : Mulai Bermain ke Bentara Budaya Jogjakarta
 
    
    Jogjakarta kerap dipayungi hujan ketika pameran Arsip dan Ilustrasi : Petak Umpet Sastra Anak diselenggarakan November 2025. Namun nuansa hangat menyambut ketika pengunjung masuk ke ruangan. Selain pameran, penyelenggara juga menyajikan berbagai acara diskusi dan lokakarya yang dilaksanakan sederhana namun membawa bahasan-bahasan penting.
Diskusi di sela pameran 
Dokumentasi : Ricky Y. Nasution

Bentara Budaya Jogjakarta 
Dokumentasi : Elfira Prabandari 

    Begitu sampai di lokasi, pintu terbuka Gedung Bentara Budaya menyambut pengunjung dengan lampu kuning yang hangat dan buku-buku di meja yang terlihat dari luar pintu. Ketika melangkah masuk, pengunjung bisa melihat ruang pamer yang memang tak begitu luas, namun ada penataan model U yang seakan memeluk pengunjung begitu tiba. Kita akan langsung tahu di mana penjelajahan akan dimulai, dan di mana akan selesai. Bagi saya yang selalu perlu menyiapkan ritme menikmati pameran, ini terasa sangat membantu untuk mengukur seberapa lama saya bisa memberi perhatian pada satu per satu bagian. Bagi anak-anak, rasanya pameran ini terasa cukup informatif tanpa perlu terlalu lama menjelajah. 

    Pengunjung juga disambut oleh human stand sosok laki-laki tambun berkaus merah, Sersan Grung-Grung, tokoh utama di karya fiksi dari seorang tokoh yang menjadi pembahasan utama di pameran ini, Dwianto Setyawan. Selain itu juga ada meja pendek yang memamerkan berbagai buku anak yang bisa dibaca bebas oleh pengunjung. Di atas meja persis, tergantung selembar kain bertuliskan pesan dari para kurator untuk pengunjung tentang tema Petak Umpet Sastra Anak.
Pojok baca dan human stand Sersan Grung-Grung 
Dokumentasi : Nabila Budayana 

    Pengunjung bisa menjelajah dimulai dari dinding sebelah kiri, memutari ruangan, hingga berakhir di sebelah paling kanan ruangan. Kita disuguhkan instalasi berbagai gambar sampul dan arsip dari tahun ke tahun yang menggambarkan situasi sastra anak Indonesia. Di tengah ruangan, beberapa lemari kaca menampilkan beberapa buku, arsip, dan komik lawas untuk ditengok pengunjung. Televisi di tepi ruang juga menampilkan hasil wawancara dari beberapa pihak yang terhubung dengan karya maupun kehidupan personal seorang Dwianto Setyawan.
                                                     Dokumentasi : Nabila Budayana 


Dokumentasi : Nabila Budayana 



Sembilan : Mengenal Sosok Dwianto Setyawan 

    Dwianto Setyawan menjadi penting dalam pameran ini. Siapa beliau? Dwianto Setyawan merupakan seorang penulis buku anak, pemerhati, aktivis, dan kritikus sastra anak yang lahir di Batu, Malang 12 Agustus 1949. Dwianto yang merupakan kakak dari sastrawan Sindhunata ini berpulang di Juni 2024 pada usia 75 tahun.
Dokumentasi : Nabila Budayana
    
    Mengapa Dwianto penting untuk diangkat sebagai sosok utama di pameran ini? Pertanyaan ini pasti hinggap di kepala pengunjung. Selama ini nama Dwianto Setyawan tak begitu banyak dikenal oleh generasi 90an ke bawah, namun generasi sebelumnya cukup akrab dengan karya-karya Dwianto. Dwianto menelurkan banyak karya cerita anak, bahkan hingga delapan puluh buku. Demi mengenang dan mengenalkan karya-karya itu kembali, penerbit Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) menerbitkan ulang beberapa di antaranya dengan sampul baru, seperti seri Sersan Grung-Grung. Dwianto juga menulis banyak esai terkait sastra anak sejak 1980an. Karya-karya esainya dikumpulkan dan diterbitkan oleh KPG dengan judul Melangkah ke Sastra Anak di November 2025.
                              Dokumentasi : Nabila Budayana 


    Penghargaan juga pernah diraih beliau. Karya Dwianto yang berjudul Tanah Sang Raksasa meraih penghargaan Adikarya IKAPI tahun 2000. Walikota Malang juga memberikan tanda hormat pada beliau atas kiprahnya sebagai penulis sastra anak era 1980-2000. Dwianto Setyawan memiliki dedikasi pada dunia sastra anak yang perlu dimunculkan ke permukaan, sehingga kiranya hal itulah yang membuat kurator mengangkatnya ke dalam bentuk pameran. 

    Meski begitu, pameran ini bukan melulu tentang Dwianto. Menariknya, sosok Dwianto diatur menjadi jalan pembuka pembahasan menuju berbagai situasi dan karya sastra anak Indonesia. Hal ini yang menjadikan pameran Petak Umpet Sastra Anak menjadi ramah untuk pengunjung, karena ia mengapresiasi kiprah seorang tokoh tanpa melupakan adanya ekosistem dan peristiwa sastra anak lain yang juga penting untuk diketahui. 

    Latar belakang pendidikan terakhir Dwianto adalah SMA. Meski begitu ia terkenal pintar di antara saudara-saudaranya yang lain. Sejak kecil Dwianto Setyawan menyukai dongeng, dan bertumbuh dengan tiga orang saudara yang juga bergiat di dunia kepenulisan. Kiprah Dwianto tidak berhenti hanya sampai menjadi penulis novel anak, namun beliau juga mendirikan penerbit DS Group yang banyak menelurkan komik lokal dengan menggandeng seniman-seniman muda. Sayangnya, Dwianto sempat sibuk untuk menekuni dunia bisnis belakangan, sehingga waktu berkaryanya menjadi lebih sedikit dan mengakibatkan DS Group berhenti beroperasi di tahun 2012. 



Delapan : Perjalanan Mencari, Mengumpulkan, Memilah, Mengatur, dan Menampilkan. 

    Enam bulan lamanya para kurator mengumpulkan data-data yang terasa “ngumpet” untuk pameran ini. Mereka mengumpulkan data, mewawancara, menelusur ke arsip-arsip lama, hingga mengunjungi langsung lokasi-lokasi yang bisa membawa mereka ke jejak Dwianto Setyawan. Kurator bahkan menelusur hingga ke kota Batu, kota tempat kelahiran Dwianto untuk mencari jejak-jejak karyanya. 
    
    Pameran Petak Umpet Sastra Anak dikuratori oleh Setyaningsih, Nai Rinaket, dan Hanputro. Setyaningsih merupakan seorang esais dan kritikus sastra anak, juga menjadi kurator di Seri Klasik Semasa Kecil terbitan KPG. Hanputro merupakan seorang esais yang banyak menerbitkan tulisan di media maupun buku. Sementara Nai Rinaket merupakan seorang penulis dan ilustrator yang menjadi desainer untuk Seri Klasik Masa Kecil terbitan KPG.
Setyaningsih, Hanputro, Nai Rinaket 
Dokumentasi : Elfira Prabandari 

    Kurator bekerja detail dan teliti untuk pameran ini. Mereka mengurasi semua arsip, karya tulis, bahkan hingga ilustrasi yang diperdebatkan panjang di antara mereka sendiri. Konsep pengelompokkan karya yang diambil berdasar lini waktu juga dikerjakan serius dengan mempertimbangkan arsip dan kejadian penting dalam sejarah sastra anak. Mereka mengatakan, pertimbangan layout visual juga berdampak pada jumlah karya yang ditampilkan. Jika kelak pameran ini akan diboyong ke lokasi lain, kemungkinan jumlah arsip yang akan ditampilkan juga bisa bertambah, menurut mereka. 

    Bagi saya, kerja-kerja mereka untuk sebuah pameran luar biasa. Di waktu yang sempit dan ladang yang masih tersembunyi, mereka bisa menggali, menemukan potongan-potongan data yang berserakan, dan menjahitnya dengan konsep sederhana untuk pengunjung. 

    Mengasuh pameran ini sejak embrio, ketiga kurator juga memandu langsung tur pengunjung untuk  menikmati pameran dengan penjelasan komplit terkait instalasi pameran.
Nai Rinaket memandu tur pameran 
Dokumentasi : Nabila Budayana

Hanputro memandu tur pameran 
Dokumentasi : Setyaningsih

Setyaningsih memandu tur untuk pengunjung 
Dokumentasi : Aryani Wahyu, Bentara Budaya Jogjakarta 


Tujuh : Mengingat Inpres dan Perbincangan Tentangnya 

    Di tahun 1973-1984 pemerintah negara Indonesia mengadakan sebuah program di mana ratusan juta buku anak diberikan pada Sekolah Dasar di Indonesia. Karya-karya itu banyak dimanfaatkan pemerintah untuk menjadi alat propaganda nilai-nilai yang ingin ditanamkan pada siswa SD. Kita mengenalnya sebagai proyek Inpres. Sistemnya, buku-buku diterbitkan oleh penerbit, kemudian pemerintah membelinya dan menyebarkannya. 

    Menurut Hanputro, sejarah bermula di tahun 1974 di mana Ajip Rosidi, seorang sastrawan dan akademisi yang mengelola Pustaka Jaya, berhasil mendorong rekannya yang bekerja sebagai staf pemerintah Kementrian Pendidikan untuk menyelenggarakan proyek Inpres. Ide Inpres sastra anak untuk pengadaan buku perpustakaan sekolah terjadi karena negara sedang mendapat banyak pemasukan dari hasil pengelolaan tambang minyak. Inpres memberikan dampak ekonomi pada penerbit dan penulis di masa itu. Dwianto menyebut dalam salah satu esainya, bahwa proyek Inpres menjanjikan sebagai sumber penghasilan penulis. Satu karya dari penulis terbeli, penulis akan mendapat modal hidup rata-rata Rp250.000 per bulan selama setahun penuh di masa itu. Sementara jumlah judul buku per tahun yang dibeli untuk proyek Inpres bisa mencapai tiga puluh dua juta ekslemplar. 

    Di dinding Pameran Petak Umpet Sastra Anak, pengunjung bisa melihat berbagai sampul buku karya penulis-penulis Inpres yang diilustrasikan oleh seniman di masa itu. Penulis dengan nama-nama besar seperti Rosihan Anwar, Arswendo Atmowiloto, Dwianto Setyawan, Remy Silado, hingga Bung Smas bisa disaksikan di sampul-sampul buku yang berjajar. Bukan hanya sampul buku, bahkan juga ada perangko-perangko yang menunjukkan upaya pemerintah mengajak pada kegiatan membaca buku, hingga data dan artikel tentang proyek Inpres ini.
Dokumentasi : Nabila Budayana 

    Kurator memilih memberikan ruang khusus untuk Inpres karena dinilai perlu untuk diperbincangkan sebagai sebuah fenomena sejarah dalam sastra anak Indonesia, dan banyak pengunjung yang memiliki keterhubungan dengan fenomena itu. Rasanya hal itu sukses dilakukan, karena saya sebagai pengunjung akhirnya mengetahui seluk beluk proyek Inpres yang selama ini hanya terdengar sekilas dari perbincangan sana-sini. 

 
Enam : Mengintip Fenomena Maraknya Sastra Anak Terjemahan 

    Sempat di suatu periode 1980-an, ditandai dengan Pekan Buku Anak tahun 1984, lanskap sastra anak Indonesia berlimpah dengan sastra anak terjemahan, seperti karya-karya Enid Blyton. Karya-karya itu menjadi perhatian dan banyak dinikmati pembaca di masanya. Meski akibatnya, karya lokal juga tergeser dari perhatian pembaca. Untungnya, Dwianto, Arswendo, Djokolelono, dan Bung Smas terus berkarya dan “melawan” dengan sastra lokal. Saat itu, penerbit dan media cenderung mengenalkan sastra terjemahan daripada lokal karena proses penerbitan yang bisa lebih mudah dan murah. 

    Menurut Bondan Winarno, penulis Indonesia justru bisa belajar dari karya terjemahan untuk memperbaiki mutu karangannya. Ini sejalan dengan pendapat Dina Dyah Kusumayanti, seorang akademisi Universitas Jember yang meneliti tentang sastra anak terjemahan menyatakan bahwa karya sastra anak terjemahan memberi kontribusi pada tumbuh kembang relasi kultural antar bangsa dan memberi pengetahuan tambahan mengenai karakteristik sifat-sifat unik para tokoh, seting, dan budaya dari negara lain. Oleh karena itu mengenal keberadaan, peran, dan posisi sastra anak terjemahan di sebuah negara adalah penting. 

    Menariknya, di bagian sastra anak terjemahan, Pameran Petak Umpet menampilkan sampul-sampul buku lawas Winnetou karya Karl May cetakan 1983, Pippi Si Kaus Panjang terbitan 1991, hingga salah satu seri Lima Sekawan yang dicetak tahun 1982. Kurator juga mengeluarkan arsip tentang ramainya iklan Klub Seri Ilmuwan Edan tahun 1992 dan seri Goosebumps tahun 1995. Karya-karya terjemahan yang menjadi bagian masa kecil kita ternyata begitu ramai di dunia perbukuan saat itu. Selama ini saya yang hanya membaca dan menikmati, menjadi tercerahkan tentang bagaimana karya-karya terjemahan itu menguasai ruang baca kita.

Dokumentasi : Nabila Budayana 


Lima : Melompat ke Pergerakan Komik DS Group 

    Dwianto Setyawan bukan hanya menaruh perhatian pada novel anak, namun ia juga ingin memberi ruang pada komik sebagai bentuk keinginannya menampilkan cerita nuansa lokal dengan visual. Ia mengajak komikus-komikus muda untuk berkarya dan menaungi mereka melalui penerbit DS Group. Konon, Dwianto juga berpesan pada seniman-seniman muda itu untuk berlatih menulis, mengingat untuk menghasilkan komik juga membutuhkan kemampuan membuat cerita. Hanputro mengatakan, DS Group dikenang bukan hanya karena Dwianto sebagai sosok di baliknya, namun juga karena DS Group banyak mewakili komikus dan kreator yang sebagian besar tidak memiliki pendidikan seni. Beberapa karya terbitan DS Group menghiasi tabloid Hoplaa. Jika melihat sekilas sampul-sampul komik yang diterbitkan DS Group, kita mungkin akan mengiranya sebagai komik Jepang atau Amerika karena miripnya style gambar. Majalah Dulken yang terkenal pun ternyata hasil karya DS Group.
Dokumentasi : Nabila Budayana 

    Menariknya di bagian ini, pengunjung bisa melihat foto Dwianto bersama Jaya Suprana dan Takeshi Maekawa. Maekawa tersohor dengan karya komik Kungfu Boy. Darinya terlihat bahwa Dwianto juga memiliki jaringan pertemanan yang luas. Tim DS Group terlihat produktif dengan foto-foto seniman di rumah yang menjadi markas DS Group, bahkan foto ketika anggota DS Group tamasya ke Jerman. Setyaningsih yang menelusur langsung ke Batu untuk menemukan jejak-jejak karya Dwianto memandu langsung sesi ini.
Dokumentasi : Nabila Budayana 


Empat : Mengamati Perayaan Ilustrasi 

    Pameran ini bukan hanya menampilkan arsip dan sampul buku, namun juga warna-warni ilustrasi buku anak yang dipilih oleh kurator dari kiriman ilustrasi yang masuk. Dua puluh empat ilustrasi dari dua puluh satu ilustrator ditampilkan. Terlihat dari berbagai karya yang dipajang, kurator ingin sebisa mungkin menampilkan luasnya style gambar yang selama ini menjadi bagian penting dari cerita-cerita anak yang kita nikmati. Karya-karya ini merupakan ilustrasi dari buku-buku middle grade yang terbit di rentang waktu 1974-2000. Ilustrasi dirayakan meriah, sama pentingnya dengan teks. Nai Rinaket mengutip perkataan Sapardi Djoko Damono yang mengatakan hal serupa. 

    Seandainya di bagian atas pajangan karya ilustrasi juga diberikan teks penanda seperti bagian-bagian lain, bagian ini akan lebih terasa lengkap dan informatif.
Dokumentasi : Nabila Budayana 

    Sembari memandu tur pameran, Nai berkata, baiknya ilustrator membaca dulu cerita yang akan diilustrasikan karena ada peristiwa-peristiwa kunci yang bisa mewakili jiwa si buku. Baginya, ilustrator memerlukan latihan terus menerus untuk berpikir, menulis, dan mengilustrasi. Ia juga menyatakan bahwa ilustrator membutuhkan dukungan pemerintah untuk berkembang. 


Tiga : Mengapresiasi Karya Penghargaan Sastra 

    Terus mengelilingi pameran akan membawa kita ke sebuah bagian di mana sampul-sampul buku anak peraih penghargaan ditampilkan. Pengunjung bisa melihat sampul-sampul yang familiar, seperti Ayahku Seorang Nelayan karya Zunda yang meraih apresiasi dari Bratislava dan Jerman, Gleger yang ditulis Djokolelono dan Nai Rinaket yang diapresiasi di tingkat Asia, hingga karya-karya lain peraih penghargaan Dewan Kesenian Jakarta, IKAPI, hingga Scarlet Pen Awards. Karya Dwianto Setyawan yang berjudul Tanah Sang Raksasa juga ditampilkan. Karya itu meraih penghargaan Adikarya IKAPI tahun 2000.
Dokumentasi : Nabila Budayana 

    Sebagai kurator, Nai berkata dalam penghargaan sastra penting untuk adanya transparansi siapa juri dan adanya catatan pertanggungjawaban dari sebuah penghargaan. Selain itu, penghargaan sastra didapatkan sebagai kerjasama antara banyak pihak dan perlu ruang untuk mengapresiasi kerja-kerja tersebut. 


Dua : Menengok Karya-karya yang Lahir Kembali 

    Sebuah buku klasik diperbincangkan terus menerus juga karena diterbitkan ulang melalui berbagai masa. Kurator ingin menunjukkan bahwa karya-karya klasik lokal pun diharapkan bisa diapresiasi dan disayangi sama besarnya dengan karya-karya sastra klasik mancanegara. Ini seakan menyentil saya sebagai pembaca yang tanpa berpikir panjang kerap lebih memilih karya klasik impor. Padahal, karya-karya klasik lokal mestinya memiliki kedekatan akar budaya dan lebih mudah terhubung dengan pembaca Indonesia. 

    Di bagian ini, pameran Petak Umpet menyuguhkan berbagai sampul buku seri klasik yang diterbitkan kembali. Seperti Sersan Grung-Grung karya Dwianto Setyawan, juga Pak Gangsir Juru Ramal Istana karya Djokolelono, di mana keduanya diterbitkan ulang oleh penerbit KPG. Cerita Si Penidur karya Aman Datuk Madjoindo yang diterbitkan ulang oleh Balai Pustaka pun terlihat. Karya Suyadi, Pedagang Peci Kecurian yang diterbitkan ulang oleh Noura Publishing tampak. Karya S Rukiah Kertapati, Soesilo Toer, Mochtar Lubis dan Samsoedi juga muncul.
Dokumentasi : Nabila Budayana 


Satu : Saatnya Menemukan Kembali Sastra Anak Indonesia 

    Karya-karya juga kiprah Dwianto Setyawan menggiring pembicaraan dan membuka ruang tampil untuk karya-karya lain di pameran ini. Meski apresiasi besar ditujukan pada sosok Dwianto Setyawan, namun ini bukan hanya tentang merayakan beliau, tapi juga merayakan sastra anak Indonesia. Kurator jelas tak mungkin menampilkan semua karya, namun mereka terlihat mengurasi dengan teliti, cermat, dan terbuka pada setiap masukan serta kritik. Kurator berharap pengunjung dapat terpantik untuk kembali membicarakan dan memberi perhatian pada sastra anak. Seperti yang mereka sampaikan pada kain besar di bagian depan pameran, “petak umpet” ini masih terus berlangsung karena masih banyak yang harus ditemukan dari peta sastra anak kita.
Hanputro sebagai salah satu kurator 
Dokumentasi : Elfira Prabandari 

    Selamat, sebagai pengunjung kita tiba di bagian akhir. Ternyata akhir tidak selalu sama dengan menemukan semua kepingan dalam keseluruhan. Bisa jadi, justru dari langkah itu menambah berbagai pertanyaan dan rasa penasaran. Seperti anak-anak yang bermain petak umpet, kita jarang puas di satu kali putaran. Kita perlu merasakan pengalaman mengenal lebih baik buku-buku anak yang kita nikmati dan apa yang terjadi di baliknya. Mungkin kita perlu lebih banyak bekerja bersama, membincangkan, dan saling merayakan. Pameran Petak Umpet Sastra Anak ini, bisa jadi menandai bahwa ada permainan yang sudah diawali, dan terbuka untuk dilanjutkan kembali. 




Sumber : 

e-katalog Petak Umpet Sastra Anak https://bentarabudaya.com/agenda/2312/petak-umpet-sastra-anak 

Artikel “Mengenang Jejak Dwianto Setyawan dalam Dunia Komik Anak” https://bandungbergerak.id/article/detail/1597556/mengenang-jejak-dwianto-setyawan-dalam-dunia-komik-anak 

Esai “Menulis sebagai Profesi Utama” oleh Dwianto Setyawan 

Ringkasan Eksekutif “Peran Sastra Anak Terjemahan dalam Pengembangan Sastra Anak Indonesia : Upaya Revitalisasi Sastra Anak Indonesia” oleh Dina Dyah Kusumayanti