Pages

Monday, October 1, 2018

Kekayaan Bunyi Negeri : Temu Musik Skena Nusantara 6.1

"Satu pesan saya, PMS (Pertemuan Musik Surabaya) jangan mati."

Gema Swaratyagita mengenang pesan dan jiwa besar Slamet Abdul Sjukur, salah satu pendiri Pertemuan Musik 61 tahun lalu. Sebuah perjalanan yang patut disyukuri karena tetap dapat melalui waktu, dan berkembang melampaui jarak.

***

Sebuah perjalanan panjang dimaknai dengan mendalam oleh PM (Pertemuan Musik). Komunitas musik yang telah terbangun sejak 61 tahun lalu ini melahirkan kembali nilai-nilai kebersamaan, pemaknaan, serta dedikasi terhadap musik. Memilih mengambil tema nusantara, PM ingin  mengingat kembali kekayaan bunyi dari negeri ini, sesuai dengan akar PM yang mengusung semangat nasionalis di awal berdirinya. Di samping, musik nusantara masih belum begitu mendapat ruang dan tepukan apresiasi di negeri sendiri.



PM mewujudkannya bukan hanya melalui pagelaran, namun juga lokakarya serta seleksi komposisi. Diselenggarakan di waktu yang berdekatan, tiga kota menjadi tuan rumah bagi perayaan PM. Publik Jakarta, Surabaya, dan Pekanbaru mendapat kesempatan mengikuti rangkaian acara. Lembar ke-23 dan 24 dari bulan September 2018 menjadi giliran Surabaya untuk melakukan lokakarya vokal dengan Ubiet Raseuki serta pementasan. Di sisi lain, seleksi karya disambut antusias oleh 49 karya dari berbagai komponis muda seluruh tanah air yang berujung 6 karya terpilih ditampilkan di Pekanbaru, 3 karya di Jakarta, dan 3 karya di Surabaya. Penampil panggung Surabaya berasal dari Solo, Pontianak serta Jombang. Karya-karya tersebut telah melewati tahapan seleksi dari Diecky K. Indrapradja, Ubiet Raseuki, Marisa Sharon Hartanto, Aristofani Fahmi, dan Lawe Samagaha. Dewan kurator menyorot berbagai aspek teknis kompositoris antara lain konsistensi dalam mengembangkan ide karya dengan konstruksi yang mumpuni.

Panggung Gedung Kesenian Cak Durasim Surabaya di hari pertunjukan dibuka oleh tampilan "Dua' Pasang" dari kelompok musik Lawang asal Pontianak. Terdiri dari enam personel Arsiko Gunawan, Ardy Prastiawan, Rama Anggara, Angga Khasbullah, Zacky Ricky Vitaqqie serta Octaviandri, mereka tampil kompak mengenakan pakaian koko. Musik Lawang begitu kental dengan nuansa musik religi hadrah, pun sarat muatan keagamaan Islam dan pesan moral dalam hidup. Menggunakan alat musik Tar khas Pontianak ditemani cello, violin, contrabass, selodang, gong ageng, selang, rebana, enam kompang, dan suara manusia. Dibuka dengan desisan bersama dari suara pemain, nuansa hadrah langsung terasa ketika senar dipetik dan seketika menggaungkan nuansa timur tengah beserta tabuhan dari kompang. Sebagai penegasan, Lawang juga menyanyikan lirik yang berisi pesan keagamaan dan kemanusiaan. Bukan hanya memainkan dengan gaya yang "biasa", Lawang tampak ingin mengeksplorasi bunyi instrumen seluas mungkin baik dengan tepukan tangan hingga bunyi gesekan permukaan rebana. Meski memadukan banyak elemen bunyi, Lawang tak lupa bermain dengan dinamika. 

Lawang
Credit : Dokumentasi Pertemuan Musik


String Quartet asal Universitas Negeri Surabaya : Harpang Subuh, Tommy Agung, Rendra dan Wildany membawakan karya komponis Jombang, Candra Bangun Setiawan berjudul "Gaman". Keempat pemain menampilkan gesekan-gesekan yang berbeda dari biasanya. Mereka menghadirkan gesekan yang fals, melengking, membuat kuduk berdiri dan gatal di telinga audiens. Namun komponis tampaknya tak membiarkan pertunjukan monoton. Pemain mengeksplorasi penuh instrumen mereka dengan memukul, menggesek, memetik. Komponis seakan tak membiarkan audiens memenuhi ekspektasinya akan penampilan string quartet yang biasa. 


String Quartet
Credit : Dokumentasi Pertemuan Musik

Panggung kemudian diisi dengan penampilan dari peserta hasil lokakarya bersama Ubiet Raseuki. Sebelas vokalis menampilkan suara khas dari berbagai daerah di Indonesia. Karya yang mereka tampilkan, Tamasya Suara Nusantara merupakan hasil dari enam jam lokakarya di hari sebelumnya. Dalam lokakarya, peserta terlebih dulu diperdengarkan nyanyian dari berbagai daerah di Nusantara. Dari proses itu, peserta mencoba menyanyikan dan merangkainya. Beberapa hal yang ditekankan Ubiet sebagai mentor antara lain adalah warna suara, dan ornamen nada. Hasilnya, malam itu Ubiet bersama peserta tampil menarik bukan hanya dalam harmoni kelompok, namun juga berhasil menyampaikan interpretasi nyanyian Nusantara sesuai dengan ciri dasar vokal mereka masing-masing. Audiens diberikan berbagai tawaran produksi suara yang kental dengan nuansa lokal, seperti Bali dan suara dari timur negeri. 

Ubiet Raseuki dan Sebelas Peserta Lokakarya
Credit : Dokumentasi Pertemuan Musik
Aruhara ciptaan Wahyu Thoyyib, komponis asal Solo tampil sebagai penutup. Dibawakan oleh Nawang Bayuaji, Wahyu Thoyyib, Rohmadin, Didin Tjakra Wibawa, Harun Ismail, serta Hudyan Marshali. Komposisi ini menggambarkan secara musikal kerusuhan dunia. Komponis melakukan eksplorasi laras slendro dan pelog, serta mengembangkan teknik dan pola Genderan dan gaya Sumiati. Terasa kaya dengan warna bunyi, komponis juga menghadirkan lengkingan frekuensi tinggi dari instrumen slompret Ponorogo. Di pembukaan, audiens dikejutkan dengan bunyi tersebut bersama gong yang menciptakan bunyi berat menyusul kemudian. Selama dimainkan, komponis tampak menjadikan hening sebagai bagian penting dari komposisinya. Aruhara terasa tidak menggebu, namun bermakna. Meski instrumen yang digunakan tradisional, Wahyu Thoyyib juga mengeksplorasi rhytm modern. Dinamika terasa dimainkan dengan baik hingga terwujud kematangan yang terlihat dari bagaimana komposisi ini direncanakan dan dibangun sedemikian rupa. 


Wahyu Thoyyib dkk
Credit : Dokumentasi Pertemuan Musik


Layaknya ciri khas Pertemuan Musik biasanya, selalu ada sesi diskusi pasca tampilan. Dipandu Diecky K Indrapradja, muncul kisah-kisah menarik dari penciptaan karya. Seperti Wahyu Thoyyib yang memaparkan bahwa Aruhara menggambarkan substansi dari Serat Kolotido, sebuah karya sastra yang disusun Ronggowarsito. Kedalaman makna hidup yang ada dalam karya sastra ini mengilhami Aruhara, seperti nilai huru-hara, kesedihan, angkara, juga tawaran solusi hidup seperti mawas diri, berserah, dan waspada. Nuansa musik yang begitu kental dengan ciri khas Jawa didasari oleh kehidupan Wahyu yang memang begitu lekat dengan adat suku ini. Detail dan kerapian komposisi juga didasari dengan berbagai riset dan pertimbangan pemilihan instrumen hingga pola pukulan, hingga gendhing yang dilakukan selama satu tahun. Sementara tentang Dua' Pasang, Rama Anggara berkisah jika nama itu diambil dari format jumlah pemain, dan Lawang terbentuk dari satu komunitas seni tari dan musik yang ada di daerahnya. Lain lagi tentang Gaman, Candra terinspirasi dari nama benda sejenis pisau yang digunakan untuk memotong bambu. Ide karya ini timbul dari sifat benda tajam. Candra mendapat pencerahan ketika berada di pandai besi. Ia menangkap banyak bunyi-bunyi yang tak enak didengar, namun hal itu justru membuatnya merasa tertarik untuk menerapkan pada musik yang ia garap. Beberapa tanggapan pun datang dari audiens.


Berjalan 61 tahun, Pertemuan Musik terbukti masih memegang semangat kolaborasi, penyediaan ruang belajar dan tampil pada musisi muda, sekaligus mengedukasi masyarakat agar lebih dalam mengenal dan memaknai musik. Barangkali pendiri PM pun tentu tak menyangka, dedikasi dan semangat mereka masih hidup dan terus bergema di jiwa-jiwa muda, melampaui enam dasawarsa. 

"Kudjadikan Rakjatku Tjinta Musik." 

No comments:

Post a Comment