Pages

Thursday, February 12, 2015

Lautan


Sudah lama aku berangan ingin merasakan lautan, yang selama ini hanya terbatas dalam pandangan. Keinginan itu sempat kukira hanya akan menjadi kenangan. Namun ini keajaiban.

***

Pertama kali aku melangkah, mataku tak bisa lepas dari air yang begitu biru dan tak berbatas. Dimana langit dan laut seringkali menyatu, sulit dipisahkan. Ini terasa sangat berbeda. Dimana langit sangat oranye ketika matahari pulang, sedangkan air tercemar warnanya. Ombak terasa tak pernah habis. Bergerak, memberikan dinamika, seakan marah atau bicara. Aku bebas bermain pasir, berlarian, berenang dan menyentuh air.

Tak ada yang sanggup kuajak bicara, kecuali angin yang tak habis menderu. Seakan berteriak atau bernyanyi. Kukira dunia luar berhasil membuat bahagia. Lautan menemukanku pada seorang pria yang pertama kali menganggapku seorang wanita luar biasa. Yang selalu berhasil membuatku merasa istimewa.

***

Belakangan, hariku habis hanya untuk memandang wanita itu. Yang selalu menatap laut dengan mata yang menyimpan cerita. Kadang ia hanya menatap lama sembari bersenandung kecil. Sesekali ia berteriak, melampiaskan amarah pada lautan. Kemudian, ia juga pernah menangis sekeras-kerasnya, seakan ingin menandingi deru ombak. Aku bertanya-tanya, apa yang sesungguhnya ada dalam pikirannya? Sebegitu rumitkah manusia? Aku terlalu penasaran untuk mengabaikannya.

"Apa yang sedang ibu bayangkan?"
Ia hanya tersenyum tanpa berkata. Tetapi ia tersenyum, sedetik kemudian berubah tangisan. Mungkin ia gila. Raut wajah paruh bayanya membuatku tak tega. Aku ingin menggenggam tangannya.
"Anakku hilang di sini. Di pantai ini," air mata masih terus saja meleleh di pipinya.

***

Pria itu begitu mencintaiku. Pertemuan pertama kami di pantai ini membawa kami ke perjalanan hati yang jauh. Ia mengetahui kondisiku yang sementara. Ia bahkan tahu kapan hari terakhirku tiba. Aku tercengang ketika ia berkata ingin menggantikan posisiku agar aku selamanya merasakan lautan dan dunia. Bukan seekor kunang-kunang yang hanya terperangkap sarang ciptaan manusia.

Kini aku tak sanggup berkata-kata lagi pada wanita itu, selain menggantungkan sarang di sana. Sang Ibu hingga kini terus di tempatnya. Memandang lautan, menginginkan putranya pulang. Tanpa pernah percaya dan menerima bila lelaki itu ada di sana. Di hadapannya. Terperangkap di sarang kecil, menemaninya melihat lautan. Menjadi seekor kunang-kunang, seperti diriku sebelumnya.




*Ditulis untuk Nulis Kamisan 3 #2

No comments:

Post a Comment