Pages

Saturday, September 8, 2018

Kreatif Berjejaring : Kombet Kreatif Surabaya 2018 [Bagian Akhir]



"If everyone is moving forward together, then success takes care of itself." 
- Henry Ford


Di lembar ketiga workshop Kombet Kreatif : Story Telling persembahan Bekraf dan Tempo Institute, pelaku ekonomi kreatif bukan hanya membahas hal-hal teknis demi kemajuan pribadi dan organisasi, namun diberikan pemaparan tentang pentingnya bergerak bersama dengan menciptakan kolaborasi di antara sesama pelaku kreatif. 

Credit : Surabaya Creative Network

***

Kolaborasi antar pelaku ekonomi kreatif dibutuhkan dalam penciptaan ekosistem yang sehat di industri kreatif. Berjejaring pun bukan hanya sekadar untuk menjalin kerjasama, namun lebih besar lagi, untuk maju bersama. Jika ingin eksosistem kreatif unggul, semua pelaku di dalamnya harus sinergis dan meningkatkan kualitas bersama. Hal itu tak dapat dicapai secara individual, namun dengan kebersamaan. Itulah harapan Hafshoh Mubarak, ketua Surabaya Creative Network untuk para pelaku ekonomi kreatif Surabaya. Surabaya Creative Network merupakan bagian dari ICCN (Indonesia Creative Cities Network), sebuah wadah yang memayungi pelaku ekonomi kreatif di banyak kota di Indonesia. Hafshoh berdialog dengan mendengar problem pelaku UKM, membuka ruang diskusi, bahkan memberi solusi dengan menjembatani beberapa hal. 


Credit : Dokumentasi Surabaya Creative Network



Credit : Dokumentasi Surabaya Creative Network

Credit : Dokumentasi Surabaya Creative Network

Kombet Kreatif juga memfasilitasi dialog antara pelaku ekonomi kreatif dengan pihak Bekraf. Menghadirkan langsung Direktur Hubungan Antar Lembaga Dalam Negeri Bekraf Hassan Abud yang banyak berkisah tentang kiprah Bekraf dalam membuka peluang dan ruang luas bagi para pelaku ekonomi kreatif untuk berkarya. Bekraf pun peduli dan mengajak interaksi para pelaku ekonomi kreatif dengan mengakses website Bekraf sebagai pusat informasi program-program yang mampu difasilitasi. Hassan memberi gambaran salah satu program yang digagas Bekraf, yaitu Bekraf Satu Pintu untuk pengajuan proposal program dari pelaku kreatif. Hassan menambahkan, pengajuan itu tidak sulit. Namun diperlukan kekuatan gagasan yang menjadi pertimbangan utama Bekraf untuk memfasilitasi program yang diajukan. Hassan juga berpesan agar pengaju mesti detail mengungkap profil, program, dan segala hal lain yang perlu diketahui oleh Bekraf.


Credit : Dokumentasi Tempo Institute

***

Burhan Solihin selaku direktur tempo.co kembali hadir membimbing peserta untuk sesi copy writing. Di kesempatan itu Burhan tak banyak memberikan materi, namun kerap memberi masukan pada hasil tulisan peserta. Beberapa hal yang bisa dicatat adalah bahwa marketing bukan hanya memerlukan kecanggihan menceritakan produk, namun juga menampilkan keunikan produk yang dapat dijadikan senjata agar sebuah produk memiliki konsep yang kuat. Penguatan konsep itu kembali merujuk pada USP (Unique Selling Proposition). Burhan menyarankan penjual untuk mengurai terlebih dahulu USP dari produk, melakukan penguatan konsep, dan berujung melakukan marketing dengan baik, salah satunya dengan copy writing dengan story telling. Ia juga mengingatkan tentang teknik menarik perhatian customer dengan melakukan sharing informasi terlebih dahulu, baru bisa diikuti dengan melakukan hard selling. Asal konten promo bersifat informatif, pembaca akan bertahan tanpa terkesan spamming. Agar post bersifat efektif, Burhan memberikan detail urutan informasi yang bisa disampaikan. Dimulai dengan faktor why, what, how to, hingga call to action. Endri Kurniawati redaktur tempo.co juga memberikan masukan terkait teknis penulisan. Baginya, melakukan promosi di media sosial tak perlu dengan kuantitas kata yang banyak, mengingat pengguna sosial media adalah pembaca yang terburu-buru. Mereka cenderung menyukai tulisan yang singkat, cair, namun mengena. Tip praktis lain yang diungkapnya antara lain tentang kebuntuan menulis. Menyikapi agar penjual tak kehabisan ide untuk bercerita tentang produk, penjual tak perlu mengungkapkan semua hal tentang produknya dalam satu post, alih-alih mencicilnya sedikit demi sedikit dari hari ke hari.

Credit : Dokumentasi Tempo Institute
 

***

Tak melulu teori, peserta juga diajak untuk melakukan praktik langsung untuk fotografi produk. Bersama Fadwa, fotografer Tempo Institute, peserta diberi arahan bahwa untuk menghasilkan foto produk yang bagus dapat dimulai dari hal-hal sederhana yang dimiliki. Fadwa memberi penekanan pada pencahayaan, penambahan properti, dan komposisi. Detail produk harus jelas terlihat mengingat calon konsumen akan menilai produk dari gambar yang dihasilkan. Trik sederhana ini diharapkan dapat membantu pelaku UKM untuk lebih representatif dalam menampilkan produknya.

Credit : Surabaya Creative Network

***

Pemberian pendampingan pada pelaku ekonomi kreatif tentu berdampak positif demi menciptakan kemajuan dalam industri. Mengejar ketertinggalan, Indonesia perlu menyambut optimis dan gempita semangat kreasi para pelaku kreatif. Hilir dari kreativitas mestinya bukan hanya mewujud eksistensi dan benefit pribadi, namun kebermanfaatan bagi sesama. Pelaku kreatif akan selalu bergerak dinamis dan mencari ruang untuk mengupayakan berbagai rupa gagasan dan ide dalam menyikapi kebutuhan dunia.

"Three ways of thinking about a problem : inside the box, outside the box, where there is no box."-Thomas L Friedman




*Baca juga Kombet Kreatif bagian pertama dan kedua

Thursday, September 6, 2018

Pendekatan Manusiawi Pelaku Kreatif : Kombet Kreatif Surabaya 2018 [Bagian Kedua]



"We have to teach something unique, so that machine can never catch up with us. Values, believing, independent thinking, teamwork, care for others. These are the soft parts. Knowledge will not teach you that. We have to teach our children art, to make sure humans are different from machines."

Sang petinggi Alibaba, Jack Ma mengucapkannya di World Economic Forum 2018 lalu. Era ini dan masa depan menjadi tantangan kesiapan bagi umat manusia untuk menyongsong gelombang perubahan yang bukan hanya besar, namun juga dinilai terlalu cepat. Bagaimana pelaku ekonomi kreatif mesti menyikapinya?

***


Setelah penekanan pada gambaran tentang UKM dan pemantapan branding di hari pertama, peserta Kombet Kreatif diajak untuk membuka perspektif baru terhadap perubahan besar-besaran pada pola hidup dunia belakangan. Bersama Wimala Djafar, Direktur Associate Planning Lotus H, 40 pelaku ekonomi kreatif Surabaya diajak membuka mata tentang automation yang datang lebih cepat pada dunia dan telah merangsek ke segala bidang. Hal itu memang belum begitu kita rasakan mengingat Indonesia masih begitu tertinggal dari negara lain dari segi automation. Sebagai pembanding, Amerika telah memulainya sejak 1950. Lebih jauh lagi, negeri adidaya itu bukan hanya telah menguasai machine learning, namun juga telah beranjak ke deep learning dewasa ini. Deep learning dalam hal ini berarti kondisi di mana mesin sudah mampu menduplikasi emosi manusia. Wimala memberi gambaran dengan memutarkan sebuah video iklan yang meraih berbagai penghargaan. Sekilas, tak ada yang berbeda dengan video yang menampilkan sisi-sisi manusiawi itu. Nyatanya, video itu dibuat dengan mengandalkan tenaga mesin. Mesin mengumpulkan data tentang variabel apa saja yang dimiliki oleh video-video yang telah meraih banyak penghargaan. Data itu kemudian disatukan dan diterapkan pada sebuah video baru yang berhasil menarik perhatian khalayak.  


Credit : Dokumentasi Surabaya Creative Network

Lantas, di mana sesungguhnya posisi manusia saat ini? Wimala menegaskan bahwa manusia tetap menjadi kunci dalam penciptaan karya, "A human inspired work, not a digital inspired work." Manusia tetap menjadi sumber kreativitas orisinal yang tidak akan pernah tergantikan oleh mesin. Bahwa value sebagai manusia mestinya bukan pada melakukan hal-hal yang rutin dan berulang, namun untuk melakukan sesuatu yang unpredictable. Oleh karenanya, pendekatan-pendekatan manusiawi pun penting diterapkan pelaku ekonomi kreatif. Penjual harus mengubah perspektif dengan tidak melihat konsumen sebagai konsumen, justru sebagai manusia. Konsumen erat dengan ekonomi sentris, sedangkan seorang manusia akan dekat dengan hal-hal yang humanis. Darinya, kita sebagai penjual tak semestinya berhenti pada orientasi menjual barang, namun juga menjadi seorang manusia yang mempertimbangkan ambisi, impian, kebiasaan, keinginan, ketakutan, bahkan perilaku digital agar menyentuh level humanis dari konsumen. Lebih mendalam, iklan yang baik bagi Wimala adalah sebuah iklan yang bukan hanya memberi solusi, namun juga mampu mengubah behavior manusia menjadi lebih baik. 




Rumus menaikkan tingkat kreativitas kita adalah hasil penjumlahan dari human insight dengan utilize machines. Human insight-lah yang berperan paling penting sebagai sumber konsep dan mengendalikan semua faktor. Human insight yang menarik didapatkan dengan banyak mengamati dan mengasah kepekaan terhadap berbagai perilaku manusia. Wimala tak membiarkan presentasinya kering. Ia kerap menyajikan contoh-contoh iklan menarik. Misalnya saja video yang menampilkan sebuah aquarium di Jepang yang kehilangan pengunjung. Dengan kreatif, terciptalah sebuah aplikasi motion capture yang memungkinkan calon pengunjung untuk dipandu kawanan penguin yang terlihat dari layar ponselnya menuju aquarium. Trik ini memanfaatkan insight kebiasaan manusia yang secara naluriah senang mengejar hewan-hewan lucu. Ide kreatif itu terbukti berhasil mengembalikan pengunjung untuk kembali bertandang ke aquarium. Pesan kuatnya, "We have to think what the other people can not think." Kekuatan cara promosi tersebut ada pada diferensiasi dan pengupayaan maksimal untuk mendekati berbagai emosi dan keinginan pelanggan. Sebuah iklan yang baik bukan yang menampilkan merek sebanyak mungkin, namun yang dapat memiliki kedekatan emosi dengan konsumen. Cara itu dapat ditempuh dengan memahami bagaimana isi kepala konsumen dan menembusnya. Ditanya, mana yang lebih baik, hard selling atau soft selling, Wimala menjawab bijak bahwa penjual mesti pintar membaca kondisi tentang urgensi penjualan produknya. Hard selling bersifat short term, soft selling akan bersifat long term karena memiliki koneksi emosi dengan konsumen. Berjalan dua arah, peserta juga melakukan diskusi kelompok dan presentasi tentang perencanaan konten promosi yang bertumpu pada human insight.

Credit : Dokumentasi Surabaya Creative Network


Perubahan dunia menjadi dua sisi mata pisau. Di satu sisi ia terkesan "membahayakan", di sisi berbeda ia dapat menjadi tantangan bagi pegiat kreatif untuk terus berinovasi. 
 
***


Burhan Solihin kembali membagi materi pada peserta. Menyadari bahwa usaha adalah perkara bertahan, ia mengungkap beberapa kesalahan fatal pengusaha muda di awal proses. Antara lain melakukan tindakan tanpa pertimbangan, terlalu mudah percaya, asal mengikuti tren, ingin cepat sukses, dan buta keuangan usaha. Fakta mengatakan, sebagian besar start-up gagal karena tidak ada yang membutuhkan produknya. Hal itu terjadi karena penjual yang kerap kurang peka terhadap kebutuhan pasar. Mindset penjual kerap terbalik. Seperti orientasi untuk mencari customer dari produk, bukan menghadirkan produk yang dibutuhkan customer. Orientasi itu dapat selalu dibenahi dengan mengubah perspektif dari sisi konsumen. Penjual mesti mengerti apa yang disukai konsumen dan menyediakan sesuai kemampuan. Mengikuti dinamisnya perubahan dunia, penjual mestinya juga tak takut untuk mengubah haluan jika dibutuhkan. 




Diferensiasi begitu penting dalam menghadapi persaingan pasar. Burhan memetakannya dengan USP (Unique Selling Proposition), sebuah bagan variabel yang menentukan keunikan produk. USP meliputi proses, bahan, ekslusif, daerah, fungsi produk, harga, servis, serta kualitas. Burhan menegaskan, bahwa sebuah produk mestinya kuat setidaknya di beberapa komponen dari USP. Produk yang unik akan percuma tanpa teknik pemasaran yang memadai. Untuk itu, penjual mesti memahami bahwa content marketing memiliki tiga hal yang membangunnya. Value, community, dan authority. Setiap produk harus memiliki value untuk meningkatkan brand image di mata konsumen, serta dipercaya oleh banyak orang serta pihak yang memiliki authority di mata publik. Memanfaatkan hal-hal yang sedang viral pun terbukti ampuh untuk membuat sebuah promosi yang menarik perhatian khalayak. Pelanggan selalu butuh diyakinkan. Penambahan pemberian testimoni, dan penambahan unsur kelangkaan akan menarik pembeli untuk segera melakukan transaksi. 

Di akhir sesi, peserta ditantang untuk praktik copy writing langsung pada produk masing-masing. Sesi ini dibimbing langsung oleh Burhan dan Endri Kurniawati. Masukan-masukan banyak diberikan baik tentang keluwesan, penambahan kalimat persuasif, hingga keefektifan informasi. 


Credit : Dokumentasi Surabaya Creative Network

"Human think in stories rather than in facts, numbers, or equations, and the simpler story, the better."  -Yuval Noah Harari

***


*baca juga Kombet Kreatif bagian pertama di sini

Tuesday, September 4, 2018

Sinergi Pelaku Ekonomi Kreatif : Kombet Kreatif Surabaya 2018 [Bagian Pertama]



Philip Pullman, seorang penulis fiksi kenamaan dunia pernah mengatakan, 

"After nourishment, shelter and companionship, stories are the thing we need most in the world."


Manusia pada dasarnya menyukai cerita. Kita terbiasa bercerita dan mendengar cerita tentang apa saja. Pendekatan manusiawi itu tampaknya makin dilirik belakangan. Termasuk pada teknik pemasaran produk. 

***

Badan Ekonomi Kreatif bersama Tempo Institute menyeleksi dan menemui ratusan pelaku ekonomi kreatif di 12 kota. Padang, Surabaya, Bandung Barat, Bojonegoro, Malang, Singkawang, Kendari, Karangasem, Maumere, Kupang, Belu, dan Merauke. Menamakan programnya dengan Kombet Kreatif 2018, Bekraf ingin menciptakan iklim kolaborasi di antara pelaku ekonomi kreatif, serta memberikan pelatihan mendasar tentang bagaimana menyampaikan produk yang dimiliki dengan baik. Story telling produk dinilai penting bagi peserta, mengingat saat ini era penjualan telah bergeser ke media digital yang tentu membutuhkan kecakapan bercerita.



Surabaya yang difasilitasi oleh Surabaya Creative Network menjadi kota kedua yang disinggahi tim Bekraf dan Tempo Institute di 31 Agustus-2 September 2018. Dihadiri 40 pelaku UKM berbagai bidang, mulai jasa pembuatan animasi, produk kerajinan daur ulang, pembuatan board game, kelas pendidikan anak, hingga catering makanan sehat. Berlokasi di Satu Atap Co Working Place and Food Station, di hari pertama hadir kreator karakter "Si Juki" Faza Meonk, Burhan Solihin direktur eksekutif tempo.co, serta Endri Kurniawati selaku editor tempo.co. 

Kreatif tak pernah identik dengan hal-hal yang kaku dan rutin. Oleh karenanya, acara ini sengaja dikemas santai. Bukan hanya materi satu arah, peserta juga diajak untuk melakukan diskusi kelompok dan dibimbing langsung oleh para pembicara. Hasil diskusi mesti dipresentasikan bersama berdasarkan masukan dari nara sumber.







Burhan Solihin memberikan fakta bahwa Indonesia masih begitu tertinggal dari sisi jumlah pelaku UKM dibanding negara lain. Sebut saja Singapura yang telah lebih maju dengan 7% pelaku UKM dari jumlah total populasi, Malaysia 5%, sedangkan Indonesia baru mencapai 2,5%. Bergerak mengikuti pola konsumsi dunia, Indonesia sedang berproses mengubah pola konsumsi dari konvensional ke digital (transaksi online). Menyadari bahwa UKM mampu menjadi pembuka lapangan kerja, saat ini ekonomi kreatif menjadi salah satu prioritas pemerintah. Ia juga menekankan bahwa lebih daripada sekadar meraup keuntungan, pelaku UKM mestinya memiliki visi untuk menjadi bagian dalam memajukan perekonomian negeri.

Di era disrupsi ini, media digital adalah jalan yang luar biasa untuk melakukan bisnis. Internet mulai menggeser pemain-pemain usaha lama yang tak mau menyesuaikan zaman. Menurut data, lebih dari separuh perusahaan besar dunia mati karena serbuan perubahan di era disrupsi. Perusahaan harus terus menggali value produknya untuk terus berkembang. Salah satu caranya adalah melalui digital marketing yang selalu membutuhkan kemampuan copy writing yang bersifat story telling untuk konsumen. Copy writing dalam hal ini bukan selalu berupa tulisan, namun juga dapat mewujud ke berbagai bentuk media lain. Meski begitu, penjual tak mungkin selalu bertumpu pada kemampuan copy writing, konten produk pun harus tetap berkonsep dan menarik, karena menjual sesuatu berarti juga berarti membangun reputasi. Terkait dengan masalah mana media digital yang paling tepat untuk berpromosi, Burhan menyarankan agar penjual mengenali karakter masing-masing medsos baik dari sisi fitur maupun perilaku mayoritas penggunanya. Dari hal itu, penjual dapat menyesuaikan dengan kebutuhan marketing produk. 

Credit : Instagram @fianda.julyantoro


Bukan hanya membagikan hal yang bersifat teoritis, Burhan yang juga memiliki bisnis kuliner membagikan tip praktis melakukan penawaran di media sosial. Misalnya saja, jika di Facebook, penjual tak bisa hanya sekadar mengunggah posts, namun juga harus selalu ada interaksi antara penjual dan pembeli. "Tanpa interaksi, tidak ada transaksi." Mengerti berbagai tipe konsumen juga penting bagi penjual. Tipe customer dapat dibagi menjadi tiga : cold, warm, hot. Cold berarti tahapan di mana calon konsumen masih meraba produk tanpa merasakan keterikatan apapun. Konsumen akan merasa warm ketika ia sudah mulai mengenal dan tertarik dengan produk. Tahap ini dapat diupayakan dengan sharing tip atau informasi terkait hal-hal yang berhubungan dengan produk. Jika telah melewati tahap itu, konsumen akan tiba pada tahap hot, di mana mereka merasa mantap untuk melakukan transaksi karena telah teryakinkan. Ketiga tahap itu dapat ditempuh dengan soft selling, bukan melulu langsung berjualan dengan hard selling. Burhan menyederhanakannya dengan istilah "Sharing-sharing dahulu, selling-selling kemudian." Pada prinsipnya, konsumen akan bertransaksi ketika benefit yang ia dapatkan lebih besar dari uang yang dikeluarkan. Benefit dapat dibagi menjadi dua : physical benefit dan emotional benefit. Emotional benefit dapat diartikan sebagai keuntungan bagi konsumen yang tak terlihat, semisal memiliki keanggotaan gym agar terlihat sebagai penganut gaya hidup sehat, atau mengikuti kelas workshop menulis agar dapat memilki kemampuan untuk menginspirasi orang lain melalui tulisan. Benefit itu dapat dibangun dan dilekatkan pada produk.

 ***

Faza Meonk mengisi sesinya dengan membagikan kisah perjalanan Si Juki, sebuah karakter komik yang ia ciptakan. Karakter itu tak hanya berhenti sebagai sebuah cerita komik, namun juga merambah ke berbagai media bisnis lain seperti film, merchandise, hingga perusahaan karakter yang dinamai Pionicon. Faza mengakui bahwa ia merangkum kesemuanya sebagai bisnis karakter. Bisnisnya banyak berkembang karena menangkap berbagai potensi di era sosial media. Bisnis karakter bertumpu pada popularitas, sehingga media sosial efektif untuk mengenalkan dan menjadikan karakter dekat dengan konsumen. Faza meyakini bahwa karakter dapat menambah value dari sebuah produk. Meski begitu, ia pun objektif membedakan bahwa tidak semua produk perlu karakter sebagai media marketing



Walau minim modal di awal, Faza tetap memutuskan berinvestasi dengan membagikan komik Si Juki gratis selama setahun di media sosial demi membangun kepopuleran Si Juki di mata konsumen. Baginya, awareness konsumen terhadap produk penting untuk diupayakan terlebih dahulu. Pasca karakternya populer, Faza dapat mengembangkan bisnisnya baik secara mandiri maupun bekerjasama dengan berbagai pihak. Dalam mengembangkan lini bisnis, Faza tak sembarangan. Ia memiliki tim dan budget riset tersendiri untuk membaca perilaku pasar. Ditanya bagaimana menghadapi pesaing yang mirip dengan bisnis Faza, ia menyikapi bahwa pengembangan harus terus dilakukan agar berbeda dengan pelaku bisnis serupa yang lain. 

***


Credit : Instagram @tempo.institute



People don't buy your product, they buy your story. - Seth Godin